Sabtu, 07 Maret 2015

Apa cita - cita mu?

Apa cita-cita mu?
Sering sekali pertanyaan itu kita dengar, dan kita tanyakan kepada anak - anak. Kenapa yang paling sering di tanya seperti itu anak - anak?
Mungkin karena dianggap cita - cita itu adalah sesuatu yang ingin dia raih saat dia dewasa nanti.
Lalu bagaimana dengan orang dewasa? Apakah tidak mempunyai cita - cita?

Saat si kecil mendapat tugas dari bu guru untuk menggambar cita - cita nya. Dia menggambar menjadi dokter hewan dan koki. Anak berusia 6 tahun tanpa berfikir panjang mengenai cita - citanya itu. Tanpa malu- malu dia menggambarkan cita - cita nya itu. Si kecil tanpa malu - malu mengungkapkan apa keinginannya . Anak - anak di sekolah alam jingga ini terbiasa mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Kebebasan dalam berekspresi, membuat mereka percaya diri. Berbeda lagi dengan anak - anak usia kurang lebih 14 th, saat mereka di tanya cita - cita, mereka akan menjawab dengan malu - malu, karena mereka sudah mulai berfikir apakah cita - cita ini sesuai kemampuanku, apakah cita - cita ini terlalu muluk - muluk, apakah aku bisa mewujudkannya, dan masih banyak pertanyaan di benak mereka. Hingga akhirnya mereka malu mengungkapkannya. Di sinilah tugas orang tua untuk meyakinkan mereka tentang keinginan mereka bukan keinginan orang tua. Orang tua hanya mengarahkan saja tidak untuk menentukan. Hal itu terjadi pada saat saya menjadi wali kelas di kelas 9, sangat sedih melihat mereka dengan malu - malu mereka menulis cita - cita mereka, mereka malu orang lain sampai tahu, mereka takut ditertawakan,mereka takut dihina. Padahal setelah saya lihat cita - cita mereka itu sangat mulia sekali, ada yang ingin jadi guru, ada yang ingin jadi ustad, ada yang ingin jadi pengusaha, dll. Mereka tidak terbiasa mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya, mereka terbiasa menjalani kehidupan yang mengharuskan mereka melakukan keinginan orang tua atau karena tuntutan keadaan. Hanya sekolahlah tempat mereka menyalurkan keahlian mereka, mendengar keinginan mereka. Menumbuhkan rasa percaya diri pada mereka, meyakinkan mereka kalau bersunguh sungguh pasti mampu mencapainya. Tidak semudah membalikan telapak tangan saat melakukan itu, butuh kedekatan batin dengan mereka.

Bagaimana dengan kita sebagai orang dewasa / orang tua, apa cita - cita mu? Apakah sudah tercapai cita - cita mu?
Ayo coba direnungkan pertanyaan ini...

Kamis, 05 Maret 2015

Anak yang susah di tebak

Anak yang susah di tebak. Anak yang pintar, rajin, cekatan, itulah kesan pertama di mataku. Ternyata penilaian itu gak salah, bahkan bukan aku saja yang menilai dia begitu. Cerita mengenai keadaan rumahnya membuat semakin percaya kalau anak ini bisa diandalkan. Anak ini berasal dari keluarga yang bisa dibilang dr keluarga ekonomi menengah kebawah, keaadaan ibunya yg harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan berjualan kue keliling. Awalnya gak percaya kl ibu-ibu yang jual kue itu adalah ibu si anak itu, karena dari rampang si anak itu gak mirip ibu - ibu penjual kue..anak itu bersih, berpakaian rapi, terlihat sopan sedangkan ibu-ibu kue itu maaf ya..terlihat lusuh. Tapi anak itu gak malu membantu ibunya berjualan di depan sekolah. Sungguh jarang sekali anak-anak sekarang yang masih mau bantu ibunya jualan kue di depan sekolahnya. Hari demi hari mulai mengenal anak ini lebih dekat lagi, mulai tau cerita tentang kehidupan keluarganya, ayahnya yang mempunyai istri lagi meski tidak pernah memberi nafkah untuk keluarganya, kakaknya yang semakin hari makin bandel. Dia sering ngeluh tidak pernah betah kalau dirumah. Kehidupan seberat ini harus dia alami, dia harus membantu ibunya menjaga adiknya yg masih kecil, kadang membantu menggoreng kue-kue yang mau di jual, dia masih harus mendengarkan keluh kesah ibunya. Oh.sungguh beruntungnya diriku, diusiaku segitu masih bisa menikmati hangatnya keluarga. Semakin mengenal anak itu bukan semakin percaya tapi semakin tidak yakin dengan sikap baiknya dia. Awalnya dari kasus pertama, anak ini mulai pacaran dengan adek kelas. Awalnya aku pikir biasa aja, karena anak seusianya memang masa-masa menyukai lawan jenis tp ternyata dia hanya memanfaatkan keadaan karena dia tau sigadis ini suka sama dia. Huh...anak ini sudah memanfaatkan kepandainya untuk hal2 yang gak baik. Kemudian muncul kasus kedua, anak ini mulai terlihat kelicikannya ( sudah bukan pandai lagi) dia benar 2 bisa memanfaatkan keadaan untuk kepenting
pribadinya. Dia memanfaatkan kesalahan guru untuk menutupi kesalahannya, dia memanfaatkan kepercayaan guru untuk kesalahannya Dua hal yang sangat jauh berbeda "kesalahan dan kepercayaan" dimanfaatkan olehnya secara bersamaan.
Sungguh luar biasa anak ini..
Kenapa dengan anak ini??
Apakah di sekolah maasih kurang untuk sering mengingatkan dan memperhatikan dia ? Tapi seperti nggak, gak kurang - kurang mengingatkan dan memperhatikan dia.
Apakah dari faktor keluaga? Keluarga yang gak hangat menurutnya, keluarga yang membuat dia merasa tidak nyaman. Dua kondisi yang lingkungan yg sangat bertolak belakang.
Sayang sekali jika dia harus terjebak dalam keadaan yang membuat dia tidak mampu menggunakan kepandaiannya untuk hal hal yang positif.
Saat ini dia sudah mulai mampu mengendalikan diri dan mudah2an ini benar - benar dia yang sebenarnya.

Keluarga adalah tempat paling utama untuk menimba ilmu... Jangan sia sia kan waktu saat bersama anak 2 di rumah, kenyamanan mereka saat bersama keluarga sangat berpengaruh dengan kepribadian mereka.
Kekompakan bukan hanya di dalam keluarga saja tapi dengan linglungan- lingkungan dimana anak - anak menimba ilmu.